Pengaruh televisi jelas sangat besar bagi perkembangan mental anak terutama yang berhubungan dengan seksualitas. Menu televisi yang tanpa sensor telah menyebabkan munculnya anak yang dewasa belum waktunya. Tontonan-tontonan seronok itu telah merusak mentalitas anak sehingga lambat-laun muncul sikap permisif terhadap seks.
Maka pantas menurut sosiolog Akbar S. Ahmad (1997), bahwa media televisi di zaman modern telah menumbuhkan gejala pemujaan tubuh dan personifikasi gaya hidup baru. Televisi lewat berbagai menu acaranya telah membius remaja akan pentingnya penampilan tampak muda. Menjadi tua merupakan dosa tak termaafkan.
Mereka harus sensual, anggun, atraktif dan berpakain mutakhir (yang tentunya ala Barat). Remaja tidak boleh buruk napas, berjerawat, apalagi bau badan. Media televisi terus menerus menanamkan pada remaja pandangan hidup dengan tubuh sebagai pusat kesadaran.
Mereka harus sensual, anggun, atraktif dan berpakain mutakhir (yang tentunya ala Barat). Remaja tidak boleh buruk napas, berjerawat, apalagi bau badan. Media televisi terus menerus menanamkan pada remaja pandangan hidup dengan tubuh sebagai pusat kesadaran.
Dunia kepura-puraan televisi kini memang telah melangkah cukup jauh. Televisi bukan saja mempengaruhi sikap dan gaya hidup remaja, tetapi juga sanggup merubah ideologi seseorang bahkan mungkin agama. Bagaimana kosmetik telah menjadi ideologi kawula muda yang kini sudah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka.
Begitu pula berbagai bentuk kebugaran, fitness, aerobik, “body building” dan operasi plastik yang di dunia kepura-puraan kini digembar-gemborkan sebagai suatu keharusan telah berubah menjadi “agama” baru.
Begitu pula berbagai bentuk kebugaran, fitness, aerobik, “body building” dan operasi plastik yang di dunia kepura-puraan kini digembar-gemborkan sebagai suatu keharusan telah berubah menjadi “agama” baru.
Pantas jika Aldous Huxley seorang pengarang fiksi ilmiah terkemuka pernah meramalkan ihwal kehancuran spiritualitas (iman) akibat gencarnya tayangan “kepura-puraan” televisi. Bahkan Aldous Huxley dalam “Brave New World”, salah satu buku karangannya menyebut televisi sebagai musuh berwajah ramah.
Begitu pula Neil Postman dalam bukunya Amusing Ourselves to Death yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Menghibur Diri Sampai Mati (Sinar Harapan, 1995), menulis bahwa saat ini orang tengah menghibur diri sampai mati. Hal itu dikarenakan format televisi ditujukan untuk hiburan dan bukan untuk sarana pendidikan.
Ironisnya, yang menjadi pondasi hiburan itu esndiri adalah tanyangan yang mengandung unsur VHS (pornografi, kekerasan dan horor). Bisa dibayangkan jika pornografi, kekerasan dan horor sudah dijadikan hiburan, maka bukan hal mustahil jika dalam kehidupan sehari-hari pun praktek ketiga unsur tersebut dijadikan hiburan saja. Merampok, membunuh, zina atau seks bebas (free sex) dan lain- lain, bukan lagi suatu aib, semuanya dianggap biasa-biasa saja bahkan mungkin dianggap hanya hiburan.
Untuk itu, berbicara negeri birahi takan lepas dari peran media massa. Ketika berbicara media, maka tidak akan lepas dari unsur-unsur birahi. Bahkan secara sadar media kita telah berupaya menjadikan Indonesia menuju negeri penuh birahi.
Sebagaimana dipaparkan diatas, sulit ditemukan norma-norma yang membatasi antara pornografi dan seni. Akibatnya, acapkali pornografi digugat, maka para praktisi media massa berkelit di ketiak seni. Namun terlepas dari pro-kontra itu, rakyatlah yang menjadi korban.
Sebagaimana dipaparkan diatas, sulit ditemukan norma-norma yang membatasi antara pornografi dan seni. Akibatnya, acapkali pornografi digugat, maka para praktisi media massa berkelit di ketiak seni. Namun terlepas dari pro-kontra itu, rakyatlah yang menjadi korban.
bener....bener....tv sekarang emang lebih mengedepanan kekerasan, seks, narkoba, dan hal-hal yang ga berguna. pikir mereka yang penting komersil. moral nomor 200 juta.
ReplyDelete